Sengketa merupakan
salah satu hal yang bisa muncul kapan saja dalam kehidupan manusia. Sengketa
dapat terjadi mulai dari lingkup keluarga hingga lingkup hukum. Sejak dulu
kala, penyelesaian sengketa sudah ada dalam latar budaya masyarakat Indonesia
sebagai pola penyelesaian sengketa berdasarkan musyawarah, misalnya rembuk desa
dan kerapatan adat. Dalam penyelesaian sengketa hukum, ada beberapa pilihan
dalam menyelesaikan sengketa hukum. Penyelesaian sengketa hukum yang paling
sering dilakukan dan paling dikenal oleh masyarakat adalah penyelesaian
sengketa melalui pengadilan. Namun demikian, penyelesaian sengketa melalui
pengadilan terkadang tidak memberikan penyelesaian sebagaimana diinginkan oleh
kedua belah pihak. Penyelesaian sengketa di pengadilan juga dikenal memakan
waktu yang cukup lama dan biaya yang cukup mahal. Untuk mengakomodir
keinginan-keinginan para pihak ini, kemudian muncul beberapa alternatif untuk
menyelesaikan sengketa antara para pihak. Beberapa alternatif tersebut antara
lain: negosiasi, mediasi, evaluasi dini, pendapat atau penilaian ahli,
pencarian fakta, dispute review board,
dan office of special project facilitator.
Alternatif penyelesaian sengketa ini memiliki beberapa keuntungan antara lain
cepat dan murah, adanya kontrol dari para pihak terhadap proses yang berjalan
dan hasilnya karena pihak yang mempunyai kepentingan aktif dalam menyampaikan
pendapatnya, dapat menyelesaikan sengketa secara tuntas/holistik, dan
meningkatkan kualitas keputusan yang dihasilkan dan kemampuan para pihak untuk
menerimanya.
Mediasi, seperti
alternatif penyelesaian sengketa lainnya, berkembang akibat lambannya
penyelesaian sengketa di pengadilan. Mediasi muncul sebagai jawaban atas
ketidakpuasan yang berkembang pada
sistem peradilan yang bermuara pada persoalan waktu, biaya, dan kemampuannya
dalam menangani kasus yang kompleks. “Mediation
is not easy to define”.
Mediasi bukanlah sesuatu yang mudah untuk didefinisikan. Hal ini terkait dengan
dimensi mediasi yang sangat jamak dan tidak terbatas. Mediasi tidak memberi
satu model yang dapat diuraikan secara terperinci dan dibedakan dari proses
pengambilan keputusan lainnya.
Dalam peraturan Indonesia, pengertian mediasi dapat ditemukan di pasal 1 butir
tujuh Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 yaitu cara penyelesaian
sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan para pihak
dengan dibantu oleh mediator. Selain dalam peraturan ada beberapa sarjana yang
mencoba untuk mendefinisikan mediasi. Gary Goodpaster menyatakan bahwa
“Mediasi” adalah proses negosiasi penyelesaian masalah (sengketa) dimana suatu
pihak luar, tidak memihak, netral, tidak bekerja dengan para pihak yang bersengketa,
membantu mereka (yang bersengketa) mencapai suatu kesepakatan hasil negosiasi
yang memuaskan. Dari
penjelasan diatas dapat kita lihat bahwa ada unsur-unsur mendasar dari definisi
mediasi, antara lain:
1. Adanya
sengketa yang harus diselesaikan
2. Penyelesaian
dilaksanakan melalui perundingan
3. Perundingan
ditujukan untuk mencapai kesepakatan
4. Adanya
peranan mediator dalam membantu penyelesaian.
Beberapa alasan mengapa mediasi sebagai altemetif
penyelesaian sengketa mulai mendapat perhatian yang lebih di Indonesia, antara
lain:
1.
Faktor Ekonomis, dimana mediasi sebagai altematif
penyelesaian sengketa memiliki potensi sebagai sarana untuk menyelesaikan sengketa
yang lebih ekonomis, baik dari sudut pandang biaya maupun waktu.
2.
Faktor ruang lingkup yang dibahas, mediasi memiliki
kemampuan untuk membahas agenda permasalahan secara lebih luas, komprehensif
dan fleksibel.
3.
Faktor pembinaan hubungan baik, dimana mediasi yang
mengandalkan cara-cara penyelesaian yang kooperatif sangat cocok bagi mereka
yang menekankan pentingnya hubungan baik antar manusia (relationship), yang
telah berlangsung maupun yang akan datang.
Dalam mediasi, terdapat dua jenis mediasi
yang ditinjau berdasarkan tempat pelaksanaannya yaitu mediasi di pengadilan dan
mediasi di luar pengadilan. Kedua jenis mediasi ini tercantum dalam Peraturan
Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008. Dalam melaksanakan mediasi di pengadilan,
ada dua tahap yang harus dijalani, yaitu yang pertama adalah mediasi awal
litigasi, yakni mediasi yang dilaksanakan sebelum pokok sengketa diperiksa dan
yang kedua adalah mediasi yang dilakukan dalam pokok pemeriksaan, yang kemudian
terbagi lagi menjadi dua yaitu selama dalam pemeriksaan tingkat pertama dan
selama dalam tingkat banding dan kasasi. Sedangkan mediasi di luar pengadilan
merupakan mediasi yang dilaksanakan di luar pengadilan, kemudian perdamaian
terjadi dimohonkan ke pengadilan untuk dikuatkan dalam akta perdamaian.
Mediator dalam mediasi
bukan berperan untuk mengambil keputusan, melainkan untuk membantu para pihak
memahami pandangan pihak lainnya sehubungan dengan masalah yang disengketakan.
Mediator sebagai pihak yang menentukan efektivitas proses penyelesaian sengketa
harus bersikap netral, mendengarkan para pihak secara aktif, mencoba untuk
meminimalkan perbedaan-perbedaan, serta kemudian menitikberatkan persamaan.
Seorang mediator tidak boleh mempengaruhi salah satu pihak untuk mencapai
tujuan yang dicita-citakan oleh pihak lainnya. Mediator sangat membutuhkan
kemampuan personal yang memungkinkannya berhubungan secara menyenangkan dengan
masing-masing pihak. Namun demikian, kemampuan pribadi yang terpenting adalah
sifat tidak menghakimi, yaitu dalam kaitannya dengan cara berpikir
masing-masing pihak, serta kesiapannya untuk memahami dengan empati pandangan
para pihak. Mediator perlu memahami dan memberikan reaksi positif atas persepsi
masing-masing pihak dengan tujuan membangun hubungan baik dan kepercayaan.
Sebagai pihak netral yang melayani kedua belah pihak, mediator berperan
melakukan interaksi dengan para pihak baik secara bersama ataupun secara
individu, dan membawa mereka pada tiga tahap sebagai berikut:
a. Memfokuskan
pada upaya membuka komunikasi di antara para pihak;
b. Memanfaatkan
komunikasi tersebut untuk menjembatani atau menciptakan saling pengertan di
antara para pihak (berdasarkan persepsi mereka atas perselisihan tersebut dan
kekuatan serta kelemahan masing-masing); dan
c. Memfokuskan
pada munculnya penyelesaian.
Selain dilihat dari pendapat-pendapat
para ahli yang menulis mengenai mediasi, tugas-tugas mediator juga diatur dalam
peraturan yang berlaku bagi pelaksanaan mediasi di Indonesia. Tugas-tugas ini
tercantum dalam Pasal 15 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008.
Tugas-tugas tersebut antara lain:
1. Mediator
wajib mempersiapkan usulan jadwal pertemuan mediasi kepada para pihak untuk
dibahas dan disepakati.
2. Mediator
wajib mendorong para pihak untuk secara langsung berperan dalam proses mediasi.
3. Apabila
dianggap perlu, mediator dapat melakukan kaukus.
4. Mediator
wajib mendorong para pihak untuk menelusuri dan menggali kepentingan mereka dan
mencari berbagai pilihan penyelesaian yang terbaik bagi para pihak.
Berdasarkan uraian-uraian diatas, dapat
kita lihat bahwa mediator bertugas untuk mengarahkan dan memfasilitasi
lancarnya komunikasi dan membantu para pihak untuk memahami sengketa yang
terjadi di antara keduanya, serta para pihak dapat membuat penilaian yang
objektif hingga terciptalah penyelesaian akan sengketa yang dihadapi.
Mediasi seringkali
menghasilkan kesepakatan di antara kedua belah pihak sehingga manfaat mediasi
sangatlah dapat dirasakan. Manfaat mediasi tetap dapat dirasakan meskipun
terkadang ada mediasi yang gagal. Hal ini dikarenakan adanya mediasi kemudian
mengklarifikasikan persoalan dan kemudian mempersempit permasalahan yang
disengketakan. Dalam menyelesaikan sengketa, mediasi memiliki beberapa
keuntungan, antara lain:
a. Mediasi
diharapkan dapat menyelesaikan sengketa lebih cepat dan murah dibandingkan
dengan arbitrase dan pengadilan;
b. Mediasi
dapat memberbaiki komunikasi antara para pihak yang bersengketa serta
menghilangkan konflik yang hampir selalu mengiringi putusan yang bersifat
memaksa;
c. Mediasi
akan memfokuskan para pihak pada kepentingan mereka secara nyata;
d. Mediasi
meningkatkan kesadaran akan kekuatan dan kelemahan posisi masing-masing pihak;
e. Melalui
mediasi, dapat diketahui hal-hal atau isu-isu yang tersembunyi yang terkait
dengan sengketa yang sebelumnya tidak disadari;
f. Mediasi
memberikan para pihak untuk melakukan kontrol terhadap proses dan hasil dari
mediasi tersebut.
Penyelesaian sengketa dengan cara
mediasi kemudian diharapkan untuk dapat mengurangi ketidakseimbangan posisi
para pihak sebagaimana yang dirasakan apabila sengketa diselesaikan melalui
lembaga pengadilan maupun arbitrase.
Dalam mediasi yang
sukses, dihasilkan sebuah perjanjian penyelesaian sengketa yang setelah
ditandatangani akan mengikat dan dapat dipaksakan sebagaimana layaknya sebuah
kontrak atau perjanjian. Di Indonesia, perjanjian hasil mediasi harus
dituangkan dalam bentuk tertulis. Hal ini tidak hanya berlaku untuk mediasi di
dalam pengadilan, tetapi juga untuk mediasi di luar pengadilan. Pasal 17 ayat
(1) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 kemudian menyatakan bahwa jika
mediasi menghasilkan kesepakatan perdamaian, para pihak dengan bantuan mediator
wajib merumuskan secara tertulis kesepakatan yang dicapai dan ditandatangani
oleh para pihak dan mediator.
Kemudian Pasal 6 ayat (6) Undang-undang Nomor 30 tahun 1999 menyatakan bahwa:
“Usaha penyelesaian sengketa atau beda pendapat
melalui mediator sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) dengan memegang teguh
kerahasiaan, dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari harus tercapai
kesepakatan dalam bentuk tertulis yang ditandatangani oleh semua pihak yang
terkait.”
Apabila mediasi dilaksanakan di luar
pengadilan, sesuai pasal 6 ayat (7) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009,
perjanjian tertulis yang telah disepakati oleh para pihak wajib untuk
didaftarkan di pengadilan negeri paling lama 30 hari sejak perjanjian tersebut
ditandatangani. Dalam hal pelaksanaan mediasi yang dilakukan di pengadilan,
hakim dapat mengukuhkan kesepatakan tersebut sebagai suatu akta perdamaian.
Akta perdamaian sendiri dalam pasal 1 butir 2 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1
Tahun 2008 didefinisikan sebagai akta yang memuat isi kesepakatan perdamaian
dan putusan hakim yang menguatkan kesepakatan perdamaian tersebut yang tidak
tunduk pada upaya hukum biasa maupun luar biasa.
Perjanjian tertulis ini biasanya disusun oleh para pihak dengan bantuan
mediator. Dalam membantu para pihak menyusun suatu persetujuan mediasi secara
tertulis, mediator memfokuskan perhatian untuk terlebih dahulu menghasilkan
rancangan perjanjian, ia harus meyakini bahwa para pihak telah memahami
sepenuhnya rancangan perjanjian. Perlunya penyusunan rancangan perjanjian
diakomodir dalam pasal 17 ayat (3) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008
yang menyebutkan bahwa sebelum para pihak menandatangani kesepakatan, mediator
memeriksa materi kesepakatan perdamaian untuk menghindari ada kesepakatan yang
bertentangan dengan hukum atau yang tidak dapat dilaksanakan atau yang memuat
iktikad tidak baik.