5.29.2013

Mediasi sebagai Salah Satu Alternatif Penyelesaian Sengketa

Sengketa merupakan salah satu hal yang bisa muncul kapan saja dalam kehidupan manusia. Sengketa dapat terjadi mulai dari lingkup keluarga hingga lingkup hukum. Sejak dulu kala, penyelesaian sengketa sudah ada dalam latar budaya masyarakat Indonesia sebagai pola penyelesaian sengketa berdasarkan musyawarah, misalnya rembuk desa dan kerapatan adat. Dalam penyelesaian sengketa hukum, ada beberapa pilihan dalam menyelesaikan sengketa hukum. Penyelesaian sengketa hukum yang paling sering dilakukan dan paling dikenal oleh masyarakat adalah penyelesaian sengketa melalui pengadilan. Namun demikian, penyelesaian sengketa melalui pengadilan terkadang tidak memberikan penyelesaian sebagaimana diinginkan oleh kedua belah pihak. Penyelesaian sengketa di pengadilan juga dikenal memakan waktu yang cukup lama dan biaya yang cukup mahal. Untuk mengakomodir keinginan-keinginan para pihak ini, kemudian muncul beberapa alternatif untuk menyelesaikan sengketa antara para pihak. Beberapa alternatif tersebut antara lain: negosiasi, mediasi, evaluasi dini, pendapat atau penilaian ahli, pencarian fakta, dispute review board, dan office of special project facilitator. Alternatif penyelesaian sengketa ini memiliki beberapa keuntungan antara lain cepat dan murah, adanya kontrol dari para pihak terhadap proses yang berjalan dan hasilnya karena pihak yang mempunyai kepentingan aktif dalam menyampaikan pendapatnya, dapat menyelesaikan sengketa secara tuntas/holistik, dan meningkatkan kualitas keputusan yang dihasilkan dan kemampuan para pihak untuk menerimanya.
Mediasi, seperti alternatif penyelesaian sengketa lainnya, berkembang akibat lambannya penyelesaian sengketa di pengadilan. Mediasi muncul sebagai jawaban atas ketidakpuasan yang  berkembang pada sistem peradilan yang bermuara pada persoalan waktu, biaya, dan kemampuannya dalam menangani kasus yang kompleks. “Mediation is not easy to define.[1] Mediasi bukanlah sesuatu yang mudah untuk didefinisikan. Hal ini terkait dengan dimensi mediasi yang sangat jamak dan tidak terbatas. Mediasi tidak memberi satu model yang dapat diuraikan secara terperinci dan dibedakan dari proses pengambilan keputusan lainnya.[2] Dalam peraturan Indonesia, pengertian mediasi dapat ditemukan di pasal 1 butir tujuh Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 yaitu cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh mediator. Selain dalam peraturan ada beberapa sarjana yang mencoba untuk mendefinisikan mediasi. Gary Goodpaster menyatakan bahwa “Mediasi” adalah proses negosiasi penyelesaian masalah (sengketa) dimana suatu pihak luar, tidak memihak, netral, tidak bekerja dengan para pihak yang bersengketa, membantu mereka (yang bersengketa) mencapai suatu kesepakatan hasil negosiasi yang memuaskan.[3] Dari penjelasan diatas dapat kita lihat bahwa ada unsur-unsur mendasar dari definisi mediasi, antara lain:
1.    Adanya sengketa yang harus diselesaikan
2.    Penyelesaian dilaksanakan melalui perundingan
3.    Perundingan ditujukan untuk mencapai kesepakatan
4.    Adanya peranan mediator dalam membantu penyelesaian.
Beberapa alasan mengapa mediasi sebagai altemetif penyelesaian sengketa mulai mendapat perhatian yang lebih di Indonesia, antara lain:[4]
1.    Faktor Ekonomis, dimana mediasi sebagai altematif penyelesaian sengketa memiliki potensi sebagai sarana untuk menyelesaikan sengketa yang lebih ekonomis, baik dari sudut pandang biaya maupun waktu.
2.    Faktor ruang lingkup yang dibahas, mediasi memiliki kemampuan untuk membahas agenda permasalahan secara lebih luas, komprehensif dan fleksibel.
3.    Faktor pembinaan hubungan baik, dimana mediasi yang mengandalkan cara-cara penyelesaian yang kooperatif sangat cocok bagi mereka yang menekankan pentingnya hubungan baik antar manusia (relationship), yang telah berlangsung maupun yang akan datang.
Dalam mediasi, terdapat dua jenis mediasi yang ditinjau berdasarkan tempat pelaksanaannya yaitu mediasi di pengadilan dan mediasi di luar pengadilan. Kedua jenis mediasi ini tercantum dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008. Dalam melaksanakan mediasi di pengadilan, ada dua tahap yang harus dijalani, yaitu yang pertama adalah mediasi awal litigasi, yakni mediasi yang dilaksanakan sebelum pokok sengketa diperiksa dan yang kedua adalah mediasi yang dilakukan dalam pokok pemeriksaan, yang kemudian terbagi lagi menjadi dua yaitu selama dalam pemeriksaan tingkat pertama dan selama dalam tingkat banding dan kasasi. Sedangkan mediasi di luar pengadilan merupakan mediasi yang dilaksanakan di luar pengadilan, kemudian perdamaian terjadi dimohonkan ke pengadilan untuk dikuatkan dalam akta perdamaian.[5]
Mediator dalam mediasi bukan berperan untuk mengambil keputusan, melainkan untuk membantu para pihak memahami pandangan pihak lainnya sehubungan dengan masalah yang disengketakan. Mediator sebagai pihak yang menentukan efektivitas proses penyelesaian sengketa harus bersikap netral, mendengarkan para pihak secara aktif, mencoba untuk meminimalkan perbedaan-perbedaan, serta kemudian menitikberatkan persamaan. Seorang mediator tidak boleh mempengaruhi salah satu pihak untuk mencapai tujuan yang dicita-citakan oleh pihak lainnya. Mediator sangat membutuhkan kemampuan personal yang memungkinkannya berhubungan secara menyenangkan dengan masing-masing pihak. Namun demikian, kemampuan pribadi yang terpenting adalah sifat tidak menghakimi, yaitu dalam kaitannya dengan cara berpikir masing-masing pihak, serta kesiapannya untuk memahami dengan empati pandangan para pihak. Mediator perlu memahami dan memberikan reaksi positif atas persepsi masing-masing pihak dengan tujuan membangun hubungan baik dan kepercayaan.[6] Sebagai pihak netral yang melayani kedua belah pihak, mediator berperan melakukan interaksi dengan para pihak baik secara bersama ataupun secara individu, dan membawa mereka pada tiga tahap sebagai berikut:[7]
a.    Memfokuskan pada upaya membuka komunikasi di antara para pihak;
b.    Memanfaatkan komunikasi tersebut untuk menjembatani atau menciptakan saling pengertan di antara para pihak (berdasarkan persepsi mereka atas perselisihan tersebut dan kekuatan serta kelemahan masing-masing); dan
c.    Memfokuskan pada munculnya penyelesaian.
Selain dilihat dari pendapat-pendapat para ahli yang menulis mengenai mediasi, tugas-tugas mediator juga diatur dalam peraturan yang berlaku bagi pelaksanaan mediasi di Indonesia. Tugas-tugas ini tercantum dalam Pasal 15 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008. Tugas-tugas tersebut antara lain:[8]
1.    Mediator wajib mempersiapkan usulan jadwal pertemuan mediasi kepada para pihak untuk dibahas dan disepakati.
2.    Mediator wajib mendorong para pihak untuk secara langsung berperan dalam proses mediasi.
3.    Apabila dianggap perlu, mediator dapat melakukan kaukus.
4.    Mediator wajib mendorong para pihak untuk menelusuri dan menggali kepentingan mereka dan mencari berbagai pilihan penyelesaian yang terbaik bagi para pihak.
Berdasarkan uraian-uraian diatas, dapat kita lihat bahwa mediator bertugas untuk mengarahkan dan memfasilitasi lancarnya komunikasi dan membantu para pihak untuk memahami sengketa yang terjadi di antara keduanya, serta para pihak dapat membuat penilaian yang objektif hingga terciptalah penyelesaian akan sengketa yang dihadapi.
Mediasi seringkali menghasilkan kesepakatan di antara kedua belah pihak sehingga manfaat mediasi sangatlah dapat dirasakan. Manfaat mediasi tetap dapat dirasakan meskipun terkadang ada mediasi yang gagal. Hal ini dikarenakan adanya mediasi kemudian mengklarifikasikan persoalan dan kemudian mempersempit permasalahan yang disengketakan. Dalam menyelesaikan sengketa, mediasi memiliki beberapa keuntungan, antara lain:
a.     Mediasi diharapkan dapat menyelesaikan sengketa lebih cepat dan murah dibandingkan dengan arbitrase dan pengadilan;
b.    Mediasi dapat memberbaiki komunikasi antara para pihak yang bersengketa serta menghilangkan konflik yang hampir selalu mengiringi putusan yang bersifat memaksa;
c.     Mediasi akan memfokuskan para pihak pada kepentingan mereka secara nyata;
d.    Mediasi meningkatkan kesadaran akan kekuatan dan kelemahan posisi masing-masing pihak;
e.     Melalui mediasi, dapat diketahui hal-hal atau isu-isu yang tersembunyi yang terkait dengan sengketa yang sebelumnya tidak disadari;
f.     Mediasi memberikan para pihak untuk melakukan kontrol terhadap proses dan hasil dari mediasi tersebut.
Penyelesaian sengketa dengan cara mediasi kemudian diharapkan untuk dapat mengurangi ketidakseimbangan posisi para pihak sebagaimana yang dirasakan apabila sengketa diselesaikan melalui lembaga pengadilan maupun arbitrase.
Dalam mediasi yang sukses, dihasilkan sebuah perjanjian penyelesaian sengketa yang setelah ditandatangani akan mengikat dan dapat dipaksakan sebagaimana layaknya sebuah kontrak atau perjanjian. Di Indonesia, perjanjian hasil mediasi harus dituangkan dalam bentuk tertulis. Hal ini tidak hanya berlaku untuk mediasi di dalam pengadilan, tetapi juga untuk mediasi di luar pengadilan. Pasal 17 ayat (1) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 kemudian menyatakan bahwa jika mediasi menghasilkan kesepakatan perdamaian, para pihak dengan bantuan mediator wajib merumuskan secara tertulis kesepakatan yang dicapai dan ditandatangani oleh para pihak dan mediator.[9] Kemudian Pasal 6 ayat (6) Undang-undang Nomor 30 tahun 1999 menyatakan bahwa:
“Usaha penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui mediator sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) dengan memegang teguh kerahasiaan, dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari harus tercapai kesepakatan dalam bentuk tertulis yang ditandatangani oleh semua pihak yang terkait.”[10]
Apabila mediasi dilaksanakan di luar pengadilan, sesuai pasal 6 ayat (7) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009, perjanjian tertulis yang telah disepakati oleh para pihak wajib untuk didaftarkan di pengadilan negeri paling lama 30 hari sejak perjanjian tersebut ditandatangani. Dalam hal pelaksanaan mediasi yang dilakukan di pengadilan, hakim dapat mengukuhkan kesepatakan tersebut sebagai suatu akta perdamaian. Akta perdamaian sendiri dalam pasal 1 butir 2 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 didefinisikan sebagai akta yang memuat isi kesepakatan perdamaian dan putusan hakim yang menguatkan kesepakatan perdamaian tersebut yang tidak tunduk pada upaya hukum biasa maupun luar biasa. [11] Perjanjian tertulis ini biasanya disusun oleh para pihak dengan bantuan mediator. Dalam membantu para pihak menyusun suatu persetujuan mediasi secara tertulis, mediator memfokuskan perhatian untuk terlebih dahulu menghasilkan rancangan perjanjian, ia harus meyakini bahwa para pihak telah memahami sepenuhnya rancangan perjanjian. Perlunya penyusunan rancangan perjanjian diakomodir dalam pasal 17 ayat (3) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 yang menyebutkan bahwa sebelum para pihak menandatangani kesepakatan, mediator memeriksa materi kesepakatan perdamaian untuk menghindari ada kesepakatan yang bertentangan dengan hukum atau yang tidak dapat dilaksanakan atau yang memuat iktikad tidak baik.[12]




[1] Laurence Boulle, Mediation:Principle, process, practice, (Sydney: Butterworths, 1996), hlm. 3
[2] Gatot P. Soemartono, Arbitrase dan Mediasi di Indonesia, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2006), hlm. 116
[3] Gary Goodpaster, Panduan Negosiasi dan Mediasi, (Jakarta: Proyek ELIPS, 1999) hlm. 241
[4] “Alasan keberadaan BaMI”, www.badanmediasi.com, diunduh pada 6 Mei 2013
[5] Mahkamah Agung Republik Indonesia,Peraturan Mahkamah Agung tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 01 Tahun 2008.
[6] Gatot P. Soemartono, op.cit, hlm. 135
[7] Ibid, hlm. 136
[8] Mahkamah Agung Republik Indonesia, op.cit, ps. 15
[9] Mahkamah Agung Republik Indonesia, op.cit, ps. 17 ayat (1)
[10] Indonesia, Undang-Undang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, UU Nomor 30 Tahun 1999, LN No. 138 Tahun 1999, TLN No. 3872, ps. 6 ayat (6).
[11] Mahkamah Agung Republik Indonesia, op.cit, ps. 1 butir 2
[12]  Ibid, ps. 17 ayat (3)

3 comments: