5.27.2013

Ringkasan dan Tanggapan atas Buku Karya Satya Arinanto

RINGKASAN
A.      Hak Asasi Manusia
1.    Pemilihan Istilah Human Rights dalam Universal Declaration of Human Rights
Istilah hak asasi manusia (selanjutnya disebut HAM) merupakan suatu istilah yang relatif baru yang menggantikan istilah natural rights dan juga menggantikan frasa the rights of Man yang kemudian dianggap tidak mencakup hak-hak wanita. Istilah ini dikemukakan oleh Eleanor Roosevelt pada saat penyusunan rancangan Universal Declaration of Human Rights.
2.    Asal-Usul Historis Konsepsi HAM
Asal-usul historis konsepsi HAM dapat ditelurusi hingga ke masa Yunani dan Roma, dimana ia memiliki kaitan yang erat dengan doktrin hukum alam pra modern dari Greek Stoicism. Para Stois dicirikan oleh keyakinan yang hampir fanatik pada akal budi yang mana menurut mereka akal budi dan emosi merupakan kelompok yang terpisah.
Karena adanya peran Stoisme Yunani dalam pembentukan dan penyebarannya, hukum Romawi terlihat memungkinkan eksistensi hukum alam. Berdasarkan ius gentium, hal yang bersifat universal berkembang melebihi hak-hak warga negara.
3.    Kaitan dengan Teori tentang Negara dan Hukum
Dalam konteks teori tentang negara dan hukum yang berkembang pada saat itu, menurut J.J von Schmid, pemikiran tentang negara dan hukum tidak mendahului pembentukan dan pertumbuhan peradaban-peraban, tetapi merupakan gejala sosial yang menampakkan diri setelah berabad-abad lamanya ada peradaban yang tinggi. Menjadi syarat penting bagi suatu negara bahwa ia mengijinkan warga negaranya untuk mengeluarkan pendapat tentang negara dan hukum secara kritis.
4.    Doktrin Hukum Alam dan Pemikiran Liberal Mengenai Hak-hak Alam
Pada masa sebelum abad pertengahan, doktrin hukum alam kemudian menjadi sangat terkait dengan pemikiran-pemikiran liberal mengenai hak-hak alam, yang mana doktrin hukum alam ini menekankan adanya pemisahan faktor kewajiban dan faktor hak. Menurut Aristoteles dan Thomas Aquinas, doktrin ini pada akhirnya menghapus ide-ide utama dari HAM yang dipahami belakangan. Pada masa itu, ide-ide tentang HAM masih dipahami sebagai hak-hak alam. Dalam masa ini juga terlihat kegagalan penguasa dalam memenuhi kewajibannya berdasarkan hukum alam.
Plato mengemukakan ide-ide dalam hal kriteria pemimpin negara yang baik, yang mana tidak pernah bisa dilaksanakan melihat dari sifat pribadi manusia yang memiliki banyak kepentingan pribadi. Plato juga menyatakan bahwa eksistensi hukum diperlukan untuk mengatur kehidupan warga negara serta dalam hal penyelenggaraan pemerintahan.
5.    Pengaruh Pemikiran Thomas Aquinas dan Beberapa Pemikir Lain
Aquinas adalah tokoh puncak dari Skolatisisme. Pemahaman Aquinas terhadap hukum alam terletak di dalam domain alasan politik. Aquinas merupakan seseorang yang cukup berpengaruh terhadap dunia hukum apabila melihat pada teologi yang dikemukannya, sedangkan Aristoteles memberikan pengaruh pengaruh melalui filsafat politiknya.
6.      Pengaruh Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Keberhasilan Intelektual
Pada abad ke-17, ilmu pengetahuan mulai maju dengan adanya penemuan-penemuan oleh Galileo dan Sir Isaac Newton. Sepanjang abad ke-18, suatu keyakinan yang tumbuh terhadap akal manusia dan kesempurnaan dari hubungan manusia makin mengarah kepada ekspresi yang makin komprehensif. Locke pada masa ini sudah mengeluarkan karya yang di dalamnya berisikan hak-hak tertentu yang menempel pada individu-individu sebagai manusia.
7.    Pengaruh Pemikiran John Locke dalam Beberapa Dokumen HAM
John Locke sebagaimana tercermin dalam Bill of Rights Inggris, memberikan dasar pemikiran bagi timbulnya gelombang agitasi evolusioner yang kemudian mempengaruhi Barat. Pemikiran-pemikiran John Locke kemudian dijadikan acuan pula bagi ilmuwan-ilmuwan lain dalam merumuskan suatu dokumen HAM.
8.    Ide-ide HAM dan Absolutisme Politik
Ide-ide HAM memainkan peranan kunci dalam perjuangan melawan absolutisme politik. Hal ini dikarenakan oleh kegagalan para penguasa untuk menghormati prinsip-prinsip kebebasan dan persamaan. Pada masa kini, berbagai pihak setuju bahwa manusia berhak terhadap beberapa hak dasar.
9.    Generasi-Generasi HAM
HAM merupakan produk dari masa dimana ia dibentuk, yang memperlihatkan bahwa adanya proses kelanjutan sejarah dan perubahan-perubahan yang membantu untuk memberikan substansi dan bentuk. Karel Vasak membagi HAM menjadi tiga generasi. Generasi pertama yaitu yang tergolong dalam hak-hak sipil dan politik yang menghargai ketiadaan intervensi pemerintah dalam pencarian martabat manusia. Generasi kedua yaitu yang tergolong dalam hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya yang merupakan suatu respon terhadap pelanggaran-pelanggaran dan penyelewengan-penyelewengan dari perkembangan kapitalis. Generasi ketiga mencakup hak-hak sosialis yang dapat dipahami dengan cara terbaik sebagai suatu produk dari kebangkitan dan kejatuhan negara-bangsa dalam paruh kedua dari abad ke-20.
10.     Universal Declaration of Human Responsibilities
Deklarasi ini dibentuk dengan tujuan melengkapi Universal Declaration of Human Rights (selanjutnya disebut UDHR). Bahwa sudah waktunya hak diimbangi oleh tanggung jawab atau kewajiban. Prinsip dasar dari dokumen ini tidak hanya demi tercapainya kebebasan sebanyak mungkin, tetapi juga berkembangnya rasa tanggung jawab penuh yang akan memungkinkan kebebasan itu semakin bertumbuh.
11.  Cairo Declaration on Human Rights in Islam
Deklarasi ini merupakan salah satu instrumen HAM di tingkat regional. Deklarasi ini dibentuk dengan tujuan memberikan perlindungan HAM kepada warga-warga negara anggotanya dengan melihat pada perspektif islam. Deklarasi ini tidak sama sekali menyimpang dari UDHR. Dalam deklarasi ini dapat ditemukan persesuaian antara pasal-pasalnya dengan pasal-pasal UDHR.
12.  Universalisme versus Relativisme Budaya
Teori HAM cenderung untuk berlaku di antara dua spektrum yaitu yang berdasarkan pada teori hukum alam dan yang berlandaskan pada teori relativisme budaya. Relativisme budaya merupakan suatu kenyataan yang tidak dapat dibantah. Hal yang terpenting terkait universalisme dan relativisme budaya adalah bagaimana cara untuk merekonsiliasikan perbedaan-perbedaan antara universalisme dan relativisme budaya.

B.       Transisi Politik Menuju Demokrasi
1.      Dari Otoritarianisme Ke Demokrasi : Kemunculan Negara-Negara Demokrasi Baru
Otoriter dan totaliter adalah suatu ideologi negara yang kekuasaan tertingginya dipegang oleh militer sehingga munculah diktator. Negara-negara yang tadinya otoriter, lama kelamaan berubah menjadi demokrasi dikarenakan oleh kebosanan akan masyarakatnya yang ditindas. Demokrasi adalah suatu ideologi negara yang berasal, dari, dan untuk rakyat. Dalam memajukan negara yang telah beralih ke demokrasi masih harus ada rekonsiliasi dengan masa lampau negaranya yang berupa pelanggaran HAM.
Negara totaliter merupakan negara dengan sebuah sistem politik yang melebihi bentuk kekuasaan negara, dimana negara mengontrol, menguasai, dan memobilisasi segala segi kehidupan masyarakat. Ada 2 (dua) rezim totaliter yang dikenal, yaitu pemerintahan NAZI Adolf Hitler di Jerman dan kekuasaan Bolshevisme Soviet di bawah kepemimpinan Jossif W. Stalin.
2.      Reposisi Hubungan Sipil–Militer
Bagi negara-negara yang baru menganut demokrasi maka diperlukan adanya suatu pemisahan hubungan antara sipil dan militer, membangun kekuasaan wilayah publik, merancang konstitusi baru, menciptakan sistem kompetisi partai dan institusi-institusi demokrasi, liberalisasi, privatisasi, dan bergerak ke arah ekonomi pasar, meningkatkan pertumbuhan ekonomi dengan menahan laju inflasi dan pengangguran, mengurangi defisit anggaran, membatasi kejahatan dan korupsi, serta mengurangi ketegangan dan konflik antar etnis dan kelompok agama.
3.      Perumusan Kebijakan Baru Untuk Menyelesaikan Hubungan Dengan Rezim Sebelumnya
Dikarenakan adanya perubahan politik dari totaliter ke demokrasi yang disebut dengan transisi politik maka diperlukan kebijakan-kebijakan baru, yang menurut Solon adalah memberikan perlindungan yang besar terhadap populasi penduduk, langkah ini disebut dengan kekuasaan hukum termasuk di dalamnya adalah instrumen-instrumen demokratis dari majelis rakyat dan pemeriksaan pengadilan yang adil, disamping itu juga perlindungan kepada hak-hak anak juga harus diperhatikan.
4.      Demiliterisasi Tidak Hanya Berkaitan Dengan Militer
Dalam Paradigma Baru ada yang disebut sebagai kelompok reformis yang menyarankan agar militer tetap berperan dalam mempengaruhi perkembangan politik tetapi tidak lagi untuk mendominasi kursi pemerintahan. Pada kenyataan yang ada, pihak militer tidak akan melakukan intervensi jika tidak ada dukungan dari pihak sipil.
C.      Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik
1.      Kasus Pembunuhan Steven Biko Di Afrika Selatan
Steven Biko adalah seorang pemimpin gerakan kulit hitam yang kharismatik, ia ditangkap di pos polisi penghadang jalan. Ia ditahan di dalam pos tersebut dan kemudian meninggal dengan mulut berbusan dan penuh luka bekas pukulan di pos tersebut sekitar 1 (satu) bulan dari waktu penahanannya.
Dua puluh tahun kemudian, para polisi yang berada pada pos tempat Steven Biko dianiaya meminta pengampunan kepada Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Afrika Selatan, namun hal tersebut hanya bisa dikabulkan apabila mereka menceritakan segala tindakan mereka kepada Steven. Konstitusi Transisi Afrika Selatan mengabulkan permintaan mereka dengan memperhatikan segala aspek yang akan ditimbulkan dari putusan tersebut. Jika kekerasan dilawan dengan kekerasan maka tidak akan ada habisnya.
2.      Makna Keadilan dalam Proses Rekonsiliasi
Selanjutnya, istri dari Steven Biko adalah Ntsiki Biko mengajukan tuntutan kepada pelaku yang menganiaya suaminya agar dihukum sebelum para pelaku tersebut melakukan pengajuan amnesti dari Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Afrika Selatan. Bahkan, Ntsiki Biko mengajukan gugatan di Mahkamah Konstitusi Afrika Selatan bahwa pengajuan amnesti adalah inkonstitusional dan bertentangan dengan hukum internasional. Namun, gugatan tersebut ditolak dan mendalilkan bahwa kewenangan komisi untuk memberikan amnesti, bahkan juga bila diberlakukan bagi kejahatan terhadap kemanusiaan.
Pada akhirnya Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Afrika Selatan kemudian menyatakan menolak untuk memberikan amnesti terhadap para pembunuh Steven Biko dikarenakan para pembunuh belum memberikan kesaksian dengan jujur dan pembunuhan tersebut tidak terkait dengan suatu tujuan politik.
3.      Perspektif Hukum Internasional
Pada Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Afrika Selatan, pemberian amnesti kepada pembunuh Steven Biko merupakan inkonstitusional dan bertentangan dengan hukum internasional. Begitu juga dengan negara-negara domestik lebih memilih penghukuman dari pada amnesti karena sudah memiliki hukum yang sah untuk menjatuhkan hukuman daripada upaya untuk pembalasan dendam. Masyarakat internasional dapat dengan sendirinya menegakkan ketentuan-ketentuan hukum dan menghukum kejahatan terhadap kemanusiaan.
Ada perdebatan antara kelompok yang menganut prinsip “inward looking” versus kelompok yang mengutamakan prinsip “outward looking”. Outward looking adalah semua ketentuan dan badan internasional bersifat mengikat (binding) dan harus dilaksanakan sedangkan inward looking adalah keputusan-keputusan internasional memang perlu dihormati dan dilaksanakan, sebab konsep kedaulatan negara. 
D.      Pengalaman  Beberapa Negara
1.    Negara Amerika Latin
Menurut O’Donnell ada beberapa karakteristik transisi politik di Amerika Latin dan Eropa Selatan, yaitu heterogenitas yang lebih tinggi di Amerika Latin dari pada Eropa Selatan, memenuhi kategori otoriterisme birokratis, dan memiliki unsur-unsur patrimonialis.
2.    Non-Amerika Latin
Di Yunani, suatu kelompok perwira militer tingkat menengah yang disebut junta telah mengambil alih pemerintahan dari Perdana menteri George Papandreou yang menjamin untuk memegang kekuasaan secara sementara dengan dalih mengontrol komunis, menghindari korupsi dan mengembalikan Yunani ke arah demokrasi. Sedangkan di Spanyol, Jenderal Fransisco Franco muncul sebagai pemenang dalam Perang Sipil Spanyol dengan memerintah secara totaliter dengan tujuan untuk memberikan pengarahan-pengarahan kepada masyarakat. Namun, rezim totaliter di Spanyol tersebut akhirnya diganti dengan rezim yang demokratis yang benar-benar berbeda dengan pemerintahan sebelumnya.

TANGGAPAN
Dari tulisan yang terdapat dalam buku karangan Satya Arinanto, dapat dilihat bahwa terdapat suatu hukum yang mengatur dimana jika ada kekuasaan yang otoriter berkuasa maka masyarakat pada negara tersebut menginginkan suatu perubahan ke arah yang lebih baik. Pada masa perubahan dari rezim otoriter ke rezim demokrasi disebut transisi politik. Perubahan situasi politik ke arah otoriter biasanya dilakukan dengan cara pemberontakan oleh pihak militer. Namun, hal tersebut tidak terlepas dari kekuasaan orang sipil yang menggerakkan atau bisa disebut sebagai otak dari pergerakan itu.
            Seluruh permasalahan yang ditimbulkan dalam hal ini adalah tidak terlepas dari Human Rights (Hak Azasi Manusia) dan bagaimana penyelesaiannya. Terdapat 2 (dua) hukum dalam menghukum para pelaku kejahatan tersebut antara lain adalah hukum yang berlaku pada zaman rezim tersebut berkuasa dan hukum yang baru dibuat pada masa transisi.
Permasalahan yang timbul adalah bagaimana cara membersihkan seluruh rezim komunis dan para pejabatnya, hal ini menjadikan hal yang utama pada kalangan internasional. Pada masa perubahan/ transisi ada konsep penengah yang lain dari aturan hukum transisional adalah hukum internasional. Hukum internasional menempatkan institusi-institusi dan proses-proses yang melampaui hukum dan politik domestik. Dalam periode perubahan politik, hukum internasionallah yang menawarkan suatu konstruksi alternatif dari hukum yang ada, walaupun terdapat suatu perubahan politik yang substansial, tetap berlangsung kekal.
Hukum internasional berperan untuk mengurangi dilema dari aturan hukum yang dilontarkan oleh keadilan pengganti dalam waktu transisi dan untuk menjustifikasi legalitas berkaitan dengan perdebatan mengenai prinsip retroaktif.
 Gerakan yang timbul setelah masa transisi adalah komisi kebenaran dan rekonsiliasi untuk menegakkan konsepsi keadilan transisional (transisional justice).Adapun yang diadili pada Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi adalah kejahatan melawan kedamaian, kejahatan perang, dan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Proses transisi politik di Indonesia dimulai pada tahun 1998 dengan munculnya gerakan reformasi yang dimotori oleh para mahasiswa. Gerakan tersebut ditunjang juga dengan melemahnya kondisi ekonomi Indonesia akibat krisis moneter yang melanda Asia pada tahun 1997. Gerakan ini menganggap banyak terjadi ketidakadilan dan penindasan yang dilakukan oleh pemerintah Orde Baru.
Menurut Jimly Ashidiqie, Semua peristiwa yang mendorong mun­culnya gerakan kebebasan dan kemerdekaan selalu mempunyai ciri-ciri hubungan kekuasaan yang menindas dan tidak adil, baik dalam struktur hubungan antara satu bangsa dengan bangsa yang lain maupun dalam hubungan antara satu pemerintahan dengan rakyatnya. Dalam wacana perjuangan untuk kemerde­kaan dan hak asasi manusia pada awal sampai pertengahan abad ke-20 yang menonjol adalah perjuangan mondial bangsa-bangsa terjajah menghadapi bangsa-bangsa penjajah. Karena itu, rakyat di semua negara yang terjajah secara mudah ter­bangkitkan semangatnya untuk secara bersama-sama menya­tu dalam gerakan solidaritas perjuangan anti penja­jahan.[1]
Sukses atau gagalnya suatu transisi demokrasi menurut M. Akil Mochtar, SH. MH., sangat tergantung pada empat faktor kunci yaitu komposisi elite politik, desain institusi politik, kultur politik atau perubahan sikap terhadap politik dikalangan elite dan non-elite, dan peran masyarakat madani (civil society).[2]
Menurut M. Akil Mochtar, SH. MH. dalam rangka upaya membangun demokrasi di Indonesia maka diperlukan adanya 8 faktor pendukung sebagai berikut:[3]
1) Keterbukaan sistem politik
2) Budaya politik partisipatif egalitarian
3) Kepemimpinan politik yang berorientasi kerakyatan
4) Rakyat yang terdidik, cerdas dan peduli
5) Partai politik yang tumbuh dari bawah
6) Penghargaan terhadap hukum
7) Masyarakat Madani yang tanggap dan bertanggung jawab
8) Dukungan dari pihak asing dan pemihakan pada golongan mayoritas
Setelah reformasi berjalan, keinginan militer untuk berkecimpung dalam dunia politik masih sangat besar. Padahal gerakan reformasi secara politik telah mengariskan kehidupan sosial politik Indonesia setelah mundurnya Soeharto, harus bebas dari segala bentuk cengkeraman militer. Makna yang terkandung dalam semangat itu adalah konsolidasi demokrasi harus memungkinkan terjadinya pembenahan-pembenahan institusi kenegaraan demi mengupayakan pewujudan tatanan politik yang demokratis. Prasyarat utama untuk mewujudkan konsolidasi demokrasi itu adalah menghapus seluruh pranata militer yang dikenal sebagai asas Dwifungsi ABRI dan struktur teritorial militer.
Secara resmi, alasan untuk menghapus kedua hal itu tertuang dalam TAP MPR Nomor VI tahun 2000 tentang Pemisahan Institusi TNI dan Polri yang menyatakan bahwa: “peran sosial politik dalam Dwi-fungsi ABRI menyebabkan terjadinya penyimpangan peran dan fungsi TNI dan POLRI yang berakibat tidak berkembangnya sendi-sendi demokrasi dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat.”
Kristalisasi gagasan reformasi militer, sebagaimana tertuang dalam TAP MPR diatas, yang menjadi agenda utama dari gerakan demokratisasi di tahun 1998, dan kemudian disuarakan oleh masyarakat luas terutama kalangan mahasiswa, akademisi dan kelompok pro-demokrasi seperti lembaga swadaya masyarakat.
Alasan kuat untuk sesegera mungkin menghapus peranan sosial politik militer yang disebut sebagai dwi-fungsi ABRI itu adalah ABRI telah menjadikan perannya berdwifungsi itu sebagai senjata utama untuk mematikan segala bentuk kehidupan yang demokratis.
Dalam posisi seperti itu, ABRI (TNI AD) menjadi satu-satunya institusi politik yang berkuasa dan dapat mengatur sendiri seluruh kehidupan masyarakat.
Menurut Robert P Clark, Intervensi angkatan bersenjata dalam politik suatu negara diakibatkan situasi-situasi seperti ini:[4]
1.      Jatuhnya prestise pemerintah atau partai politik yang memegang pemerintahan, menyebabkan rezim yang bersangkutan semakin banyak menggunakan paksaan untuk memelihara ketertiban dan untuk menekankan perlunya persatuan nasional dalam menghadapi krisis, yang selanjutnya menyebabkan penindasan terhadap perbedaan pendapat;
2.      Perpecahan antara atau diantara pemimpin-pemimpin politik, menimbulkan keragu-raguan pada komandan-komandan militer apakah rezim sipil masih mampu untuk memerintah secara kolektif;
3.      Kecilnya kemungkinan terjadinya intervensi dari luar oleh negara yang besar atau oleh negara-negara tetangga dalam hal perebutan kekuasaan;
4.      Pengaruh buruk dari perebutan kekuasaan oleh militer di negara-negara tetangga;
Lebih jauh mengenai fungsi militer dalam negara demokratis bisa kita pelajari dari prinsip-prinsp yang ditawarkan Mayor Jenderal (Purnawirawan) Dr. Dietrich Genschel. Prinsip-prinsip dimaksud, adalah sebagai berikut:[5]
1.      Militer merupakan bagian dari kekuasaan eksekutif suatu tatakelola pemerintahan. Dengan demikian, militer merupakan elemen pemisahan kekuasaan dalam sistem politik yang demokratis, yang ditandai dengan pemisahan kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif.
2.      Militer berada di bawah kepemimpinan politik yang telah disahkan secara demokratis, dengan jabatan menteri pertahanan dipegang oleh sipil.
3.      Militer mengikuti pedoman politik yang digariskan.
4.      Militer patuh dan tunduk pada hukum.
5.      Militer dibatasi oleh tugas-tugas yang telah ditetapkan oleh konstitusi; secara reguler menjaga keamanan eksternal negara (dari serangan atau ancaman dari luar) dan menjaga pertahanan negara. Dalam kasus-kasus tertentu dengan situasi dan batas-batas tertentu yang digariskan secara jelas. (Militer dapat dilibatkan) dalam upaya-upaya untuk menjaga keamanan internal negara dibawah komando polisi.
6.      Militer bersifat netral dalam politik.
7.      Militer tidak dibenarkan memiliki akses untuk memperoleh dukungan-dukungan keuangan diluar anggaran pendapatan dan belanja negara.
8.      Militer dikendalikan oleh parlemen, kepemimpinan politik, kekuasaan kehakiman, dan masyarakat sipil secara umum.
9.      Militer memiliki tanggung jawab yang jelas berdasarkan keahlian profesional yang dimilikinya dan dengan itu, memiliki harkat dan martabatnya.
Untuk menunjang prinsip-prinsip sebagaimana diutarakan di atas diperlukan prasyarat:
1.      Kerangka konstitusi; menetapkan nilai-nilai sosial (martabat manusia dan hak asasi manusia) dan pemerintah yang berdasarkan pada hukum, menetapkan  pemisahan kekuasaan (kekuasaan legislatif, eksekutif, yudikatif), mendefinisikan peran dan tugas militer;
2.      Parlemen yang berfungsi; (dipilih melalui) pemilihan secara bebas, (bersifat) multi partai, (dan memiliki) substruktur-substruktur yang perlu (seperti panitia anggaran, panitia pertahanan, ombudsman parlemen);
3.      Pemerintahan sipil; dengan rantai komando (politik) yang jelas. Presiden, Menteri Pertahanan dan dengan menempatkan Kepala Pertahanan dibawah Menteri Pertahanan – di Jerman mata rantai Komando ini mulai dari Presiden ke Perdana Menteri, dan seterusnya;
4.      Kekuasan kehakiman yang mandiri; tanpa pengadilan pengadilan khusus yang berada di luar tanggungjawabnya (seperti pengadilan militer);
5.      Organisasi militer; yang terstruktur, terdidik, dan terpimpin sedemikian rupa sehingga tidak mencampuri atau membahayakan masyarakat sipil, tetapi dengan tetap mempertahankan efektivitas militer yang tinggi;
6.      Masyarakat sipil yang matang; yang bersatu di bawah ketentuan-ketentuan dasar konstitusi dan mengambil sikap pluralistik tetapi toleran dalam kehidupan bermasyarakat, yang pada gilirannya memerlukan;
7.      Publik terdidik; yang bersedia berpartisipasi dalam kehidupan politik dan kehidupan bermasyarakat, mampu menyeimbangkan kebebasan individual dan kemandirian dengan komitmen terhadap kebaikan bersama (termasuk pertahanan), serta media yang bebas dan beragam;
8.      Elit militer dan elite politik yang kompeten
9.      Pemegang jabatan pada kantor-kantor publik (baik sipil maupun militer) yang memiliki kepercayaan diri, bersedia memenuhi kewajiban, memikul tanggung jawab, dan menerima pembatasan-pembatasan (maksudnya; pegawai negeri tidak perlu takut pada militer. Sebaliknya, personil militer hendaknya memenuhi kewajiban-kewajiban mereka dengan bangga dalam batasan-batasan hukum yang diberikan).
Sementara beberapa hal pokok yang perlu ditempatkan dibawah kendali politik/parlemen adalah:
1. Hubungan sipil dan militer—integrasi militer ke dalam masyarakat;
2. Kerangka hukum, kesejahteraan sosial dan keamanan;
3. Gaya kepemimpinan, pelatihan dan pendidikan;
4. Kesiapan tempur.






[1] Jimly Asshiddiqie, Demokrasi dan Hak Asasi Manusia, (Jakarta: 2005), hlm. 10-11.
[2] M. Akil Mochtar, SH. MH., Demokrasi dan Hak Asasi Manusia, (Jakarta: 2005), hlm.4.
[3] Ibid, hlm. 4.
[4] Robert P Clark, Menguak Kekuasaan dan Politik Di Dunia Ketiga, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 1989) hlm. 155-156.
[5] Dietrich Genschel dalam Kontras, Politik Militer dalam Transisi demokrasi di Indonesia, Jakarta: 2003, hal. 20-22

No comments:

Post a Comment