RINGKASAN
A.
Hak Asasi Manusia
1.
Pemilihan Istilah Human Rights
dalam Universal Declaration of Human Rights
Istilah hak asasi manusia (selanjutnya disebut HAM) merupakan suatu
istilah yang relatif baru yang menggantikan istilah natural rights dan juga menggantikan frasa the rights of Man yang kemudian dianggap tidak mencakup hak-hak wanita. Istilah ini dikemukakan oleh Eleanor Roosevelt pada saat penyusunan
rancangan Universal Declaration of Human
Rights.
2.
Asal-Usul Historis Konsepsi HAM
Asal-usul historis konsepsi HAM dapat ditelurusi hingga ke masa Yunani
dan Roma, dimana ia memiliki kaitan yang erat dengan doktrin hukum alam pra
modern dari Greek Stoicism. Para Stois dicirikan oleh keyakinan yang hampir fanatik pada akal budi
yang mana menurut mereka akal budi dan emosi merupakan kelompok yang terpisah.
Karena adanya
peran Stoisme Yunani dalam pembentukan dan penyebarannya, hukum Romawi terlihat
memungkinkan eksistensi hukum alam. Berdasarkan ius gentium, hal yang bersifat
universal berkembang melebihi hak-hak warga negara.
3. Kaitan dengan Teori tentang
Negara dan Hukum
Dalam konteks
teori tentang negara dan hukum yang berkembang pada saat itu, menurut J.J von
Schmid, pemikiran tentang negara dan hukum tidak mendahului pembentukan dan
pertumbuhan peradaban-peraban, tetapi merupakan gejala sosial yang menampakkan
diri setelah berabad-abad lamanya ada peradaban yang tinggi. Menjadi syarat
penting bagi suatu negara bahwa ia mengijinkan warga negaranya untuk
mengeluarkan pendapat tentang negara dan hukum secara kritis.
4. Doktrin Hukum Alam dan Pemikiran
Liberal Mengenai Hak-hak Alam
Pada masa
sebelum abad pertengahan, doktrin hukum alam kemudian menjadi sangat terkait
dengan pemikiran-pemikiran liberal mengenai hak-hak alam, yang mana doktrin
hukum alam ini menekankan adanya pemisahan faktor kewajiban dan faktor hak.
Menurut Aristoteles dan Thomas Aquinas, doktrin ini pada akhirnya menghapus
ide-ide utama dari HAM yang dipahami belakangan. Pada masa itu, ide-ide tentang
HAM masih dipahami sebagai hak-hak alam. Dalam masa ini juga terlihat kegagalan
penguasa dalam memenuhi kewajibannya berdasarkan hukum alam.
Plato
mengemukakan ide-ide dalam hal kriteria pemimpin negara yang baik, yang mana
tidak pernah bisa dilaksanakan melihat dari sifat pribadi manusia yang memiliki
banyak kepentingan pribadi. Plato juga menyatakan bahwa eksistensi hukum
diperlukan untuk mengatur kehidupan warga negara serta dalam hal
penyelenggaraan pemerintahan.
5. Pengaruh Pemikiran Thomas Aquinas
dan Beberapa Pemikir Lain
Aquinas adalah
tokoh puncak dari Skolatisisme. Pemahaman Aquinas terhadap hukum alam terletak
di dalam domain alasan politik. Aquinas merupakan seseorang yang cukup
berpengaruh terhadap dunia hukum apabila melihat pada teologi yang
dikemukannya, sedangkan Aristoteles memberikan pengaruh pengaruh melalui
filsafat politiknya.
6. Pengaruh Perkembangan Ilmu
Pengetahuan dan Keberhasilan Intelektual
Pada abad
ke-17, ilmu pengetahuan mulai maju dengan adanya penemuan-penemuan oleh Galileo
dan Sir Isaac Newton. Sepanjang abad ke-18, suatu keyakinan yang tumbuh
terhadap akal manusia dan kesempurnaan dari hubungan manusia makin mengarah
kepada ekspresi yang makin komprehensif. Locke pada masa ini sudah mengeluarkan
karya yang di dalamnya berisikan hak-hak tertentu yang menempel pada
individu-individu sebagai manusia.
7. Pengaruh Pemikiran John Locke
dalam Beberapa Dokumen HAM
John Locke
sebagaimana tercermin dalam Bill of
Rights Inggris, memberikan dasar pemikiran bagi timbulnya gelombang agitasi
evolusioner yang kemudian mempengaruhi Barat. Pemikiran-pemikiran John Locke
kemudian dijadikan acuan pula bagi ilmuwan-ilmuwan lain dalam merumuskan suatu
dokumen HAM.
8. Ide-ide HAM dan Absolutisme
Politik
Ide-ide HAM
memainkan peranan kunci dalam perjuangan melawan absolutisme politik. Hal ini
dikarenakan oleh kegagalan para penguasa untuk menghormati prinsip-prinsip
kebebasan dan persamaan. Pada masa kini, berbagai pihak setuju bahwa manusia
berhak terhadap beberapa hak dasar.
9. Generasi-Generasi HAM
HAM merupakan
produk dari masa dimana ia dibentuk, yang memperlihatkan bahwa adanya proses
kelanjutan sejarah dan perubahan-perubahan yang membantu untuk memberikan
substansi dan bentuk. Karel Vasak membagi HAM menjadi tiga generasi. Generasi
pertama yaitu yang tergolong dalam hak-hak sipil dan politik yang menghargai ketiadaan
intervensi pemerintah dalam pencarian martabat manusia. Generasi kedua yaitu
yang tergolong dalam hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya yang merupakan suatu
respon terhadap pelanggaran-pelanggaran dan penyelewengan-penyelewengan dari
perkembangan kapitalis. Generasi ketiga mencakup hak-hak sosialis yang dapat
dipahami dengan cara terbaik sebagai suatu produk dari kebangkitan dan
kejatuhan negara-bangsa dalam paruh kedua dari abad ke-20.
10. Universal Declaration of Human Responsibilities
Deklarasi ini
dibentuk dengan tujuan melengkapi Universal
Declaration of Human Rights (selanjutnya disebut UDHR). Bahwa sudah
waktunya hak diimbangi oleh tanggung jawab atau kewajiban. Prinsip dasar dari
dokumen ini tidak hanya demi tercapainya kebebasan sebanyak mungkin, tetapi
juga berkembangnya rasa tanggung jawab penuh yang akan memungkinkan kebebasan
itu semakin bertumbuh.
11. Cairo Declaration on Human Rights in Islam
Deklarasi ini
merupakan salah satu instrumen HAM di tingkat regional. Deklarasi ini dibentuk
dengan tujuan memberikan perlindungan HAM kepada warga-warga negara anggotanya
dengan melihat pada perspektif islam. Deklarasi ini tidak sama sekali
menyimpang dari UDHR. Dalam deklarasi
ini dapat ditemukan persesuaian antara pasal-pasalnya dengan pasal-pasal UDHR.
12. Universalisme versus Relativisme
Budaya
Teori HAM
cenderung untuk berlaku di antara dua spektrum yaitu yang berdasarkan pada
teori hukum alam dan yang berlandaskan pada teori relativisme budaya.
Relativisme budaya merupakan suatu kenyataan yang tidak dapat dibantah. Hal
yang terpenting terkait universalisme dan relativisme budaya adalah bagaimana
cara untuk merekonsiliasikan perbedaan-perbedaan antara universalisme dan
relativisme budaya.
B. Transisi Politik Menuju Demokrasi
1.
Dari Otoritarianisme Ke Demokrasi
: Kemunculan Negara-Negara Demokrasi Baru
Otoriter dan totaliter adalah suatu ideologi negara
yang kekuasaan tertingginya dipegang oleh militer sehingga munculah diktator.
Negara-negara yang tadinya otoriter, lama kelamaan berubah menjadi demokrasi
dikarenakan oleh kebosanan akan masyarakatnya yang ditindas. Demokrasi adalah
suatu ideologi negara yang berasal, dari, dan untuk rakyat. Dalam memajukan
negara yang telah beralih ke demokrasi masih harus ada rekonsiliasi dengan masa
lampau negaranya yang berupa pelanggaran HAM.
Negara totaliter merupakan negara dengan sebuah
sistem politik yang melebihi bentuk kekuasaan negara, dimana negara mengontrol,
menguasai, dan memobilisasi segala segi kehidupan masyarakat. Ada 2 (dua) rezim
totaliter yang dikenal, yaitu pemerintahan NAZI Adolf Hitler di Jerman dan
kekuasaan Bolshevisme Soviet di bawah kepemimpinan Jossif W. Stalin.
2.
Reposisi Hubungan Sipil–Militer
Bagi negara-negara yang baru menganut demokrasi
maka diperlukan adanya suatu pemisahan hubungan antara sipil dan militer,
membangun kekuasaan wilayah publik, merancang konstitusi baru, menciptakan
sistem kompetisi partai dan institusi-institusi demokrasi, liberalisasi,
privatisasi, dan bergerak ke arah ekonomi pasar, meningkatkan pertumbuhan
ekonomi dengan menahan laju inflasi dan pengangguran, mengurangi defisit
anggaran, membatasi kejahatan dan korupsi, serta mengurangi ketegangan dan
konflik antar etnis dan kelompok agama.
3.
Perumusan Kebijakan Baru Untuk
Menyelesaikan Hubungan Dengan Rezim Sebelumnya
Dikarenakan adanya perubahan politik dari totaliter ke demokrasi yang
disebut dengan transisi politik maka diperlukan kebijakan-kebijakan baru, yang
menurut Solon adalah memberikan perlindungan yang besar terhadap populasi
penduduk, langkah ini disebut dengan kekuasaan hukum termasuk di dalamnya
adalah instrumen-instrumen demokratis dari majelis rakyat dan pemeriksaan
pengadilan yang adil, disamping itu juga perlindungan kepada hak-hak anak juga
harus diperhatikan.
4.
Demiliterisasi Tidak Hanya
Berkaitan Dengan Militer
Dalam Paradigma Baru ada yang disebut sebagai kelompok reformis yang
menyarankan agar militer tetap berperan dalam mempengaruhi perkembangan politik
tetapi tidak lagi untuk mendominasi kursi pemerintahan. Pada kenyataan yang
ada, pihak militer tidak akan melakukan intervensi jika tidak ada dukungan dari
pihak sipil.
C. Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik
1.
Kasus Pembunuhan Steven Biko Di
Afrika Selatan
Steven Biko adalah seorang pemimpin gerakan kulit hitam yang kharismatik,
ia ditangkap di pos polisi penghadang jalan. Ia ditahan di dalam pos tersebut
dan kemudian meninggal dengan mulut berbusan dan penuh luka bekas pukulan di
pos tersebut sekitar 1 (satu) bulan dari waktu penahanannya.
Dua puluh tahun kemudian, para polisi yang berada
pada pos tempat Steven Biko dianiaya meminta pengampunan kepada Komisi
Kebenaran dan Rekonsiliasi Afrika Selatan, namun hal tersebut hanya bisa
dikabulkan apabila mereka menceritakan segala tindakan mereka kepada Steven.
Konstitusi Transisi Afrika Selatan mengabulkan permintaan mereka dengan
memperhatikan segala aspek yang akan ditimbulkan dari putusan tersebut. Jika
kekerasan dilawan dengan kekerasan maka tidak akan ada habisnya.
2.
Makna Keadilan dalam Proses
Rekonsiliasi
Selanjutnya, istri dari Steven Biko adalah Ntsiki
Biko mengajukan tuntutan kepada pelaku yang menganiaya suaminya agar dihukum
sebelum para pelaku tersebut melakukan pengajuan amnesti dari Komisi Kebenaran
dan Rekonsiliasi Afrika Selatan. Bahkan, Ntsiki Biko mengajukan gugatan di
Mahkamah Konstitusi Afrika Selatan bahwa pengajuan amnesti adalah
inkonstitusional dan bertentangan dengan hukum internasional. Namun, gugatan
tersebut ditolak dan mendalilkan bahwa kewenangan komisi untuk memberikan
amnesti, bahkan juga bila diberlakukan bagi kejahatan terhadap kemanusiaan.
Pada akhirnya Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi
Afrika Selatan kemudian menyatakan menolak untuk memberikan amnesti terhadap
para pembunuh Steven Biko dikarenakan para pembunuh belum memberikan kesaksian
dengan jujur dan pembunuhan tersebut tidak terkait dengan suatu tujuan politik.
3.
Perspektif Hukum Internasional
Pada Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Afrika
Selatan, pemberian amnesti kepada pembunuh Steven Biko merupakan
inkonstitusional dan bertentangan dengan hukum internasional. Begitu juga
dengan negara-negara domestik lebih memilih penghukuman dari pada amnesti
karena sudah memiliki hukum yang sah untuk menjatuhkan hukuman daripada upaya
untuk pembalasan dendam. Masyarakat internasional dapat dengan sendirinya
menegakkan ketentuan-ketentuan hukum dan menghukum kejahatan terhadap
kemanusiaan.
Ada perdebatan antara kelompok yang menganut
prinsip “inward looking” versus kelompok yang mengutamakan prinsip “outward
looking”. Outward looking adalah semua ketentuan dan badan internasional
bersifat mengikat (binding) dan harus dilaksanakan sedangkan inward
looking adalah keputusan-keputusan internasional memang perlu dihormati dan
dilaksanakan, sebab konsep kedaulatan negara.
D. Pengalaman Beberapa Negara
1.
Negara Amerika Latin
Menurut O’Donnell ada beberapa karakteristik transisi politik di Amerika
Latin dan Eropa Selatan, yaitu heterogenitas yang lebih tinggi di Amerika Latin
dari pada Eropa Selatan, memenuhi kategori otoriterisme birokratis, dan
memiliki unsur-unsur patrimonialis.
2.
Non-Amerika Latin
Di Yunani, suatu kelompok perwira militer tingkat menengah yang
disebut junta telah mengambil alih pemerintahan dari Perdana
menteri George Papandreou yang menjamin untuk memegang kekuasaan secara
sementara dengan dalih mengontrol komunis, menghindari korupsi dan mengembalikan
Yunani ke arah demokrasi. Sedangkan di Spanyol, Jenderal Fransisco Franco
muncul sebagai pemenang dalam Perang Sipil Spanyol dengan memerintah secara
totaliter dengan tujuan untuk memberikan pengarahan-pengarahan kepada
masyarakat. Namun, rezim totaliter di Spanyol tersebut akhirnya diganti dengan
rezim yang demokratis yang benar-benar berbeda dengan pemerintahan sebelumnya.
TANGGAPAN
Dari tulisan yang terdapat dalam buku karangan Satya Arinanto, dapat
dilihat bahwa terdapat suatu hukum yang mengatur dimana jika ada kekuasaan yang
otoriter berkuasa maka masyarakat pada negara tersebut menginginkan suatu
perubahan ke arah yang lebih baik. Pada masa perubahan dari rezim otoriter ke
rezim demokrasi disebut transisi politik. Perubahan situasi politik ke arah
otoriter biasanya dilakukan dengan cara pemberontakan oleh pihak militer.
Namun, hal tersebut tidak terlepas dari kekuasaan orang sipil yang menggerakkan
atau bisa disebut sebagai otak dari pergerakan itu.
Seluruh permasalahan
yang ditimbulkan dalam hal ini adalah tidak terlepas dari Human
Rights (Hak Azasi Manusia) dan bagaimana penyelesaiannya. Terdapat 2
(dua) hukum dalam menghukum para pelaku kejahatan tersebut antara lain adalah
hukum yang berlaku pada zaman rezim tersebut berkuasa dan hukum yang baru
dibuat pada masa transisi.
Permasalahan yang timbul adalah bagaimana cara membersihkan seluruh rezim
komunis dan para pejabatnya, hal ini menjadikan hal yang utama pada kalangan
internasional. Pada masa perubahan/ transisi ada konsep penengah yang lain dari
aturan hukum transisional adalah hukum internasional. Hukum internasional
menempatkan institusi-institusi dan proses-proses yang melampaui hukum dan
politik domestik. Dalam periode perubahan politik, hukum internasionallah yang
menawarkan suatu konstruksi alternatif dari hukum yang ada, walaupun terdapat
suatu perubahan politik yang substansial, tetap berlangsung kekal.
Hukum internasional berperan untuk mengurangi dilema dari aturan hukum yang
dilontarkan oleh keadilan pengganti dalam waktu transisi dan untuk
menjustifikasi legalitas berkaitan dengan perdebatan mengenai prinsip
retroaktif.
Gerakan yang timbul setelah masa transisi adalah komisi kebenaran dan
rekonsiliasi untuk menegakkan konsepsi keadilan transisional (transisional
justice).Adapun yang diadili pada Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi adalah
kejahatan melawan kedamaian, kejahatan perang, dan kejahatan terhadap
kemanusiaan.
Proses transisi
politik di Indonesia dimulai pada tahun 1998 dengan munculnya gerakan reformasi
yang dimotori oleh para mahasiswa. Gerakan tersebut ditunjang juga dengan
melemahnya kondisi ekonomi Indonesia akibat krisis moneter yang melanda Asia
pada tahun 1997. Gerakan ini menganggap banyak terjadi ketidakadilan dan
penindasan yang dilakukan oleh pemerintah Orde Baru.
Menurut Jimly
Ashidiqie, Semua peristiwa yang mendorong munculnya gerakan kebebasan dan
kemerdekaan selalu mempunyai ciri-ciri hubungan kekuasaan yang menindas dan
tidak adil, baik dalam struktur hubungan antara satu bangsa dengan bangsa yang
lain maupun dalam hubungan antara satu pemerintahan dengan rakyatnya. Dalam
wacana perjuangan untuk kemerdekaan dan hak asasi manusia pada awal sampai
pertengahan abad ke-20 yang menonjol adalah perjuangan mondial bangsa-bangsa
terjajah menghadapi bangsa-bangsa penjajah. Karena itu, rakyat di semua negara
yang terjajah secara mudah terbangkitkan semangatnya untuk secara bersama-sama
menyatu dalam gerakan solidaritas perjuangan anti penjajahan.[1]
Sukses atau gagalnya suatu
transisi demokrasi menurut M. Akil Mochtar, SH. MH., sangat tergantung pada
empat faktor kunci yaitu komposisi elite politik, desain institusi politik,
kultur politik atau perubahan sikap terhadap politik dikalangan elite dan
non-elite, dan peran masyarakat madani (civil society).[2]
Menurut M. Akil Mochtar, SH. MH.
dalam rangka upaya membangun demokrasi di Indonesia maka diperlukan adanya 8
faktor pendukung sebagai berikut:[3]
1) Keterbukaan sistem politik
2) Budaya politik partisipatif
egalitarian
3) Kepemimpinan politik yang
berorientasi kerakyatan
4) Rakyat yang terdidik, cerdas
dan peduli
5) Partai politik yang tumbuh
dari bawah
6) Penghargaan terhadap hukum
7) Masyarakat Madani yang tanggap
dan bertanggung jawab
8) Dukungan dari pihak asing dan
pemihakan pada golongan mayoritas
Setelah
reformasi berjalan, keinginan militer untuk berkecimpung dalam dunia politik
masih sangat besar. Padahal gerakan reformasi secara politik telah mengariskan
kehidupan sosial politik Indonesia setelah mundurnya Soeharto, harus bebas dari
segala bentuk cengkeraman militer. Makna yang terkandung dalam semangat itu
adalah konsolidasi demokrasi harus memungkinkan terjadinya
pembenahan-pembenahan institusi kenegaraan demi mengupayakan pewujudan tatanan
politik yang demokratis. Prasyarat utama untuk mewujudkan konsolidasi demokrasi
itu adalah menghapus seluruh pranata militer yang dikenal sebagai asas
Dwifungsi ABRI dan struktur teritorial militer.
Secara resmi, alasan untuk
menghapus kedua hal itu tertuang dalam TAP MPR Nomor VI tahun 2000 tentang
Pemisahan Institusi TNI dan Polri yang menyatakan bahwa: “peran sosial
politik dalam Dwi-fungsi ABRI menyebabkan terjadinya penyimpangan peran dan
fungsi TNI dan POLRI yang berakibat tidak berkembangnya sendi-sendi demokrasi
dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat.”
Kristalisasi gagasan reformasi
militer, sebagaimana tertuang dalam TAP MPR diatas, yang menjadi agenda utama
dari gerakan demokratisasi di tahun 1998, dan kemudian disuarakan oleh
masyarakat luas terutama kalangan mahasiswa, akademisi dan kelompok
pro-demokrasi seperti lembaga swadaya masyarakat.
Alasan kuat untuk sesegera
mungkin menghapus peranan sosial politik militer yang disebut sebagai
dwi-fungsi ABRI itu adalah ABRI telah menjadikan perannya
berdwifungsi itu sebagai senjata utama untuk mematikan segala bentuk kehidupan
yang demokratis.
Dalam posisi seperti itu, ABRI
(TNI AD) menjadi satu-satunya institusi politik yang berkuasa dan dapat
mengatur sendiri seluruh kehidupan masyarakat.
Menurut Robert P Clark,
Intervensi angkatan bersenjata dalam politik suatu negara diakibatkan
situasi-situasi seperti ini:[4]
1.
Jatuhnya prestise pemerintah atau partai politik yang memegang
pemerintahan, menyebabkan rezim yang bersangkutan semakin banyak menggunakan
paksaan untuk memelihara ketertiban dan untuk menekankan perlunya persatuan
nasional dalam menghadapi krisis, yang selanjutnya menyebabkan penindasan
terhadap perbedaan pendapat;
2.
Perpecahan antara atau diantara pemimpin-pemimpin politik, menimbulkan
keragu-raguan pada komandan-komandan militer apakah rezim sipil masih mampu
untuk memerintah secara kolektif;
3.
Kecilnya kemungkinan terjadinya intervensi dari luar oleh negara yang besar
atau oleh negara-negara tetangga dalam hal perebutan kekuasaan;
4.
Pengaruh buruk dari perebutan kekuasaan oleh militer di negara-negara tetangga;
Lebih jauh mengenai fungsi
militer dalam negara demokratis bisa kita pelajari dari prinsip-prinsp yang
ditawarkan Mayor Jenderal (Purnawirawan) Dr. Dietrich Genschel. Prinsip-prinsip
dimaksud, adalah sebagai berikut:[5]
1.
Militer merupakan bagian dari kekuasaan eksekutif suatu tatakelola
pemerintahan. Dengan demikian, militer merupakan elemen pemisahan kekuasaan
dalam sistem politik yang demokratis, yang ditandai dengan pemisahan kekuasaan
legislatif, eksekutif dan yudikatif.
2.
Militer berada di bawah kepemimpinan politik yang telah disahkan secara
demokratis, dengan jabatan menteri pertahanan dipegang oleh sipil.
3.
Militer mengikuti pedoman politik yang digariskan.
4.
Militer patuh dan tunduk pada hukum.
5.
Militer dibatasi oleh tugas-tugas yang telah ditetapkan oleh konstitusi; secara
reguler menjaga keamanan eksternal negara (dari serangan atau ancaman dari
luar) dan menjaga pertahanan negara. Dalam kasus-kasus tertentu dengan situasi
dan batas-batas tertentu yang digariskan secara jelas. (Militer dapat
dilibatkan) dalam upaya-upaya untuk menjaga keamanan internal negara dibawah
komando polisi.
6.
Militer bersifat netral dalam politik.
7.
Militer tidak dibenarkan memiliki akses untuk memperoleh dukungan-dukungan
keuangan diluar anggaran pendapatan dan belanja negara.
8.
Militer dikendalikan oleh parlemen, kepemimpinan politik, kekuasaan kehakiman,
dan masyarakat sipil secara umum.
9.
Militer memiliki tanggung jawab yang jelas berdasarkan keahlian profesional
yang dimilikinya dan dengan itu, memiliki harkat dan martabatnya.
Untuk menunjang prinsip-prinsip
sebagaimana diutarakan di atas diperlukan prasyarat:
1.
Kerangka konstitusi; menetapkan
nilai-nilai sosial (martabat manusia dan hak asasi manusia) dan pemerintah yang
berdasarkan pada hukum, menetapkan pemisahan kekuasaan (kekuasaan
legislatif, eksekutif, yudikatif), mendefinisikan peran dan tugas militer;
2.
Parlemen yang berfungsi; (dipilih melalui) pemilihan secara bebas, (bersifat) multi partai, (dan
memiliki) substruktur-substruktur yang perlu (seperti panitia anggaran, panitia
pertahanan, ombudsman parlemen);
3.
Pemerintahan sipil; dengan rantai komando (politik) yang jelas. Presiden, Menteri Pertahanan
dan dengan menempatkan Kepala Pertahanan dibawah Menteri Pertahanan – di Jerman
mata rantai Komando ini mulai dari Presiden ke Perdana Menteri, dan seterusnya;
4.
Kekuasan kehakiman yang mandiri; tanpa pengadilan pengadilan khusus yang berada di luar tanggungjawabnya
(seperti pengadilan militer);
5.
Organisasi militer; yang
terstruktur, terdidik, dan terpimpin sedemikian rupa sehingga tidak mencampuri
atau membahayakan masyarakat sipil, tetapi dengan tetap mempertahankan
efektivitas militer yang tinggi;
6.
Masyarakat sipil yang matang; yang bersatu di bawah ketentuan-ketentuan dasar konstitusi dan mengambil
sikap pluralistik tetapi toleran dalam kehidupan bermasyarakat, yang pada
gilirannya memerlukan;
7.
Publik terdidik; yang bersedia
berpartisipasi dalam kehidupan politik dan kehidupan bermasyarakat, mampu
menyeimbangkan kebebasan individual dan kemandirian dengan komitmen terhadap
kebaikan bersama (termasuk pertahanan), serta media yang bebas dan beragam;
8.
Elit militer dan elite politik yang kompeten
9.
Pemegang jabatan pada kantor-kantor publik (baik sipil
maupun militer) yang memiliki kepercayaan diri, bersedia memenuhi kewajiban,
memikul tanggung jawab, dan menerima pembatasan-pembatasan (maksudnya; pegawai negeri tidak perlu takut pada militer. Sebaliknya,
personil militer hendaknya memenuhi kewajiban-kewajiban mereka dengan bangga
dalam batasan-batasan hukum yang diberikan).
Sementara beberapa hal pokok yang
perlu ditempatkan dibawah kendali politik/parlemen adalah:
1. Hubungan sipil dan
militer—integrasi militer ke dalam masyarakat;
2. Kerangka hukum, kesejahteraan
sosial dan keamanan;
3. Gaya kepemimpinan, pelatihan
dan pendidikan;
4. Kesiapan tempur.
No comments:
Post a Comment